Tuesday, January 23, 2024

The End of Subscription Business Model Part 1

The End of Subscription Business Model Part 1

Berlangganan (subscription) menjadi salah satu model bisnis yang semakin banyak diterapkan perusahaan media maupun konten kreator di seluruh dunia. Fenomena ini terasa ironis di tengah kemungkinan era berlangganan yang mulai usang.


Model bisnis berlangganan sebenarnya sudah ada sebelum kemajuan teknologi informasi dalam jaringan (daring). Media massa cetak sudah sejak lama membuka langganan dari para pembaca mereka yang loyal. Namun, biaya untuk berlangganan koran atau majalah itu memang jauh lebih mahal dibandingkan berlangganan media massa daring saat ini.


Industri media massa cetak di Indonesia semakin terancam. Bukan karena masyarakat sudah tidak membutuhkan produk jurnalistik yang khas. Secara teori, produk jurnalistik di media cetak malah paling ideal dibandingkan platform lain seperti televisi dan radio, apalagi daring.


Masalahnya, perusahaan-perusahaan media massa cetak itu kehilangan daya tariknya sebagai sarana promosi berbayar atau beriklan. Mereka tersaingi platform yang lebih mudah dijangkau, lebih terukur efektivitasnya dan tentunya berbiaya lebih murah. Betul! yang dimaksud adalah media sosial beserta para pemengaruhnya (influencer).


Alih-alih bertransformasi menjadi digital, media-media cetak raksasa itu bukannya untung, malah berujung buntung. Dengan nama besar dan sebanyak apapun jumlah pelanggan mereka, migrasi media cetak ke online ternyata bukan solusi untuk menyelamatkan perusahaan dengan jumlah karyawan yang banyak. Apalagi, dengan nilai berlangganan produk versi digital yang diturunkan dari versi cetaknya.


Bagaimanapun, sebagian besar pendapatan media massa memang bukan dari penjualan produk mereka, baik secara berlangganan maupun eceran. Sekitar 80 persen pendapatan mereka didapatkan dari iklan yang masuk. Namun, jatah mereka itu kini sudah dialihkan ke media-media promosi alternatif tadi.


Sementara itu, model bisnis berlangganan bagi konten kreator perorangan seakan menjadi hal sebaliknya. Banyak di antara penulis atau jurnalis media massa terkemuka yang memilih bersolo karier di kanal-kanal seperti Substack atau KaryaKarsa untuk mendapatkan keuntungan lebih logis dibandingkan bekerja di perusahaan media yang membesarkannya.


Pihak Substack mengklaim 10 penerbit teratas memperoleh lebih dari $25 juta tahun lalu. Secara keseluruhan, mereka menyebutkan uang yang dibayarkan kepada hampir 17.000 penulis berbayar, mencapai $300 juta. Meskipun, jumlah tersebut tidak dijelaskan sebagai angka tahunannya.


Jurnalis Inggris Emma Gannon yang memiliki 26.000 pelanggan di Substack mengungkapkan optimismenya tentang masa depan cerah sebagai penulis di sana. Hal itu disampaikan kepada majalah asal Inggris, Press Gazette.


“Salah satu minat saya adalah berbicara tentang penulis yang dibayar dengan adil — dan bukan hanya itu, tetapi bahkan berkembang dan menghasilkan uang, (mendapatkan) kehidupan yang sangat menyenangkan dari menulis dan kreativitas — karena menurut saya di masa lalu orang sering menganggapnya sebagai hobi atau sekadar hal yang menyenangkan,” ujarnya.


Seperti halnya penulis di Substack, potensi keuntungan yang besar juga menggiurkan konten kreator anggota situs OnlyFans yang berbasis di Inggris. Dalam laporan keuangan mereka pada 2022 lalu, pihak perusahaan mengaku mengeluarkan sekitar $4,5 miliar kepada 3,2 juta anggotannya.


Bagi beberapa kreator, keuntungan yang diperoleh mungkin sangat besar. Namun, rata-rata keuntungan yang diperoleh kreator di Substack maupun OnlyFans tetap saja terbilang sangat kecil, bahkan jika dibandingkan dengan honor penulis di media-media massa arus utama.


Kemudian, dari sudut pandang konsumen atau pelanggan, berlangganan produk jurnalistik di Substack atau video porno di OnlyFans dengan biaya yang jauh lebih murah dari langganan media cetak ternyata masih dinilai terlalu mahal. Sebab, banyak konten serupa yang bisa diperoleh dengan gratis di dunia maya saat ini.


Para pelanggan juga semakin selektif sehingga cenderung menghindari kerugian dari konten yang tidak mereka inginkan. Atau, konten yang tidak sengaja mereka konsumsi dari uang yang tidak sengaja mereka bayarkan.


Di sisi lain, para kreator terus berupaya untuk meningkatkan kebebasannya dalam berekspresi dan berkreasi. Hal itu terjadi bersamaan dengan tekanan terhadap perusahaan yang menjadi perantara dengan konsumennya, demi meningkatkan pendapatan kreator.


Media massa konvensional dianalogikan sebagai supermarket yang menjual berbagai barang. Kemudian, fenomena bisnis berlangganan di laman-laman dunia maya seperti mengembalikan penjualan barang-barang itu langsung dari masing-masing penjualnya dengan iming-iming keuntungan yang lebih besar.


Sayangnya, hal itu justru menjadi suatu kemunduran. Para kreator kini malah menjadi sangat bergantung kepada jumlah pelanggan melalui platform yang diikutinya. Sehingga, perubahan dari perusahaan media massa ke perorangan dengan model berlangganan itu ternyata bukan jalan terbaik memperbaiki kesejahteraan kreator secara keseluruhan.

Post a Comment

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search